Sesuai
data ALFI (Asosiasi Logistik dan
Forwarder Indonesia) hingga Maret 2015, jumlah perusahaan yang menjadi anggota
ALFI mencapai 3800 perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia yang
memperkerjakan sekitar 178.000 orang karyawan tetap. 90% dari perusahaan terdaftar tersebut tidak akan mampu memenuhi aturan modal dasar sebesar 25 Miliar , oleh karena
perusahaan adalah tergolong Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan akan
terancam 534.000 orang kehilangan pendapatannya , Menurut Anwar Sata, Wakil
Ketua Bidang Organisasi DPP Asosisasi Logistik dan Forwarder Indonesia1
Atas
keberatan dari Organisasi ALFI tersebut, maka PM 74 Tahun 2015 dirubah dengan
PM 78 Tahun 2015 pada pasal 6 ayat 4, diubah dengan penambahan satu huruf di pasal 6 ayat 4, yaitu : huruf i
Isi
PM 78 Tahun 2015, Pasal 6 ayat 4 menjadi :
(4)
Persyaratan adminitrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi
a. memiliki akte pendirian perusahaan
b.
memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan
c.
memiliki Surat Keterangan Domisili Perusahaan
d.
memiliki penanggungjawab
e.
memiliki modal dasar paling sedikit Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar),
paling sedikit 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh dengan
bukti penyetoran yang sah atau diaudit oleh kantor akuntan publik
f.
Tenaga ahli WNI (Warga negara Indonesia), minimum DII di bidang
Pelayaran/Maritim/Penerbangan/Transportasi/IATA Diploma/FIATA Diploma, S1
Logistik sertifikat ahli Kepabenan/Kepelabuhan
g.
memiliki surat keterangan domisili perusahaan
h.
memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari Penyelenggara pelabuhan
setempat, serta asosisasi di bidang Jasa Pengursan Transportasi
i.
bagi badan usaha yang memiliki modal
lebih kecil sebagaimana tercantum pada ayat 4 huruf e, wajib memperoleh surat
pernyataan/persetujuan dari asosiasi di bidang Jasa Pengurusan Transportasi
sebagai jaminan untuk perusahaan atau badan hukum beroperasi.
Dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan kemudian ,
kembali terjadi perubahan pada pasal 6 ayat 4 , yaitu dengan dikeluarkannya PM
146 Tahun 2015.
Pada
PM 146 Tahun 2015 yang merupakan perubahan kedua dari PM 74 tahun 2015, Pasal 6 ayat 4 diubah dengan penghapusan satu huruf di pasal 6 ayat 4, yaitu : huruf i
Penulis
menduga ada tarik ulur perijinan
forwarder di Indonesia antara pemerintah (Kementerian Perhubungan) dengan Asosiasi Jasa Pengurusan Transportasi,
terkait : persyaratan modal dasar dalam
mendirikan perusahaan forwarder. Pemerintah terlihat memaksakan aturan terkait modal dasar pendirian perusahaan
forwarder dan logistik, yaitu : sebesar
25 Miliar. Pemerintah seakan menutup mata dengan tidak melihat fakta di
lapangan bahwa pelaku forwarder dan logistik di Indonesia adalah 90% adalah kelas UMKM. Pertanyaan
kritis, apakah pemerintah benar-benar pro UMKM dengan pemaksaan peraturan tersebut ? Kenapa
peraturan tersebut terkesan dipaksakan harus diterapkan ?
Dan
tarik ulur ini menjadi nyata dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak PM 146 tahun 2015 diterbitkan .
Peraturan tersebut dirubah lagi untuk
yang ketiga kalinya, terkait pasal 6
ayat 4 , yaitu dengan terbitnya PM 12
Tahun 2016 pada tanggal 18 Januari 2016. Peraturan
yang dirubah adalah pasal 6 ayat 4 , yaitu : penambahan
kembali satu huruf di pasal 6 ayat
4, yaitu : huruf i . Dimana Isi Pasal 6 ayat 4 PM 12 Tahun 2016 kembali lagi
sesuai dengan PM 78 Tahun 2015.
Berdasarkan
penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan : diduga telah terjadi tarik ulur
antara pemerintah dengan asosiasi jasa pengurusan Transportasi (dalam hal ini
ALFI) terkait persyaratan modal dasar dalam mendirikan usaha jasa pengurusan
transportasi. Pemerintah terkesan memaksakan kehendak dengan membuat aturan
modal dasar harus 25 Miliar, sedangkan Asosiasi jasa pengurusan transportasi
meminta agar diberikan keringanan bagi pemodal kecil tapi dengan membuat
syarat, yaitu : wajib memperoleh surat pernyataan/persetujuan dari asosiasi di bidang
Jasa Pengurusan Transportasi sebagai jaminan untuk perusahaan atau badan hukum
beroperasi.
Menurut
pendapat penulis tentang peraturan PM 74
Tahun 2015 sebagaimana telah tiga kali diubah terakhir dengan PM 12 Tahun 2016
adalah:
1. Peraturan
PM 74 Tahun 2015 tidak memenuhi rasa keadilan dalam berusaha . Fakta
bahwa 90% (Sembilan puluh persen) pelaku
usaha jasa pengurusan transprotasi adalah UMKM, sedangkan ruang lingkup
kegiatan jasa pengurusan transportasi sangat luas. Masing-masing jasa
pengurusan transportasi mempunyai ruang lingkup yang berbeda dalam menjalankan usahanya.
Ada perusahaan yang ruang lingkup jasa pengurusan transportasi dalam skala
kecil dan sempit, misal: hanya pengurusan Jasa Pengurusan Jasa kepabeanan
(PPJK) saja, akan tetapi ada juga skala
perusahaan yang sudah mampu melakukan urusan jasa logistik (skala besar).
Sedangkan, persyaratan modal dasar antara perusahaan jasa pengurusan
transportasi dengan ruang lingkup kegiatan kecil dan besar di sama ratakan,
yaitu sebesar 25 Miliar. Hal ini
menunjukkan bahwa Pemerintah tidak
pro terhadap pengusaha kecil.
2. Peraturan
PM 74 Tahun 2015 tidak mendorong tumbuhnya wirausaha baru. Peraturan tersebut
akan menghambat munculnya pengusaha-pengusaha baru dalam bidang jasa pengurusan
transportasi dengan adanya pembatasan modal dasar yang berat sebesar 25 Miliar.
Pemerintah tidak pro menciptakan
wirausaha baru.
3. Pemerintah,
dalam hal Kementerian Perhubungan terkesan hanya mementingkan perusahaan skala besar, namun seolah meniadakan perusahaan skala kecil. Tidak ada upaya pemerintah dalam
memikirkan strategi dalam mendorong tumbuhnya pelaku UMKM dalam kegiatan jasa pengurusan transportasimenjadi
pelaku besar di masa yang akan datang.
4. Asosiasi jasa pengurusan transportasi memang berhasil agar bagi badan usaha yang memiliki
modal lebih kecil dapat memperoleh kelonggaran untuk mendapatkan perijinan jasa
pengurusan transportasi, hal ini jelas terlihat dalam PM 12 Tahun 2016
sebagaimana perubahan ketiga dari PM 74 Tahun 2015. Namun, Asosiasi jasa pengurusan transportasi terkesan tidak ada upaya serius dalam
memperjuangkan kepentingan anggota yang skala UMKM yang besarnya 90% tersebut,
dengan menolak dengan tegas aturan terkait persyaratan modal dasar 25 Miliar
dengan memberikan alasan-alasan yang kuat dan logis dengan memberikan solusi ,
namun dan jika memang tidak didengarkan lagi
dapat melakukan upaya mogok nasional agar peraturan
pembatasan modal dasar 25 Miliar dapat dicabut. Berharap asosiasi juga tidak
serta merta mendulang di air keruh
dengan membuat aturan-aturan internal yang dapat memberatkan anggotanya.
Saran dan Penutup
Penulis
memberikan masukan dan saran agar bahwa
peraturan PM 74 Tahun 2015 peraturan
sebagaimana telah tiga kali diubah terakhir dengan PM 12 Tahun 2016
dapat ditinjau ulang kembali dan diharapkan dicabut,
dengan tujuan agar rasa terpenuhi rasa keadilan dalam melakukan usaha di bidang
jasa pengurusan transportasi.
Ditulis oleh : Antoni Tampubolon
*
Pengajar di ALFI Institute dan Praktisi Forwarder dan logistik.