Jumat, 18 Maret 2016

TARIK ULUR PERIJINAN FORWARDER DAN LOGISTIK DI INDONESIA - (Bagian ke-2)

 Sesuai data ALFI  (Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia) hingga Maret 2015, jumlah perusahaan yang menjadi anggota ALFI mencapai 3800 perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia yang memperkerjakan sekitar 178.000 orang karyawan tetap.  90% dari perusahaan terdaftar tersebut  tidak akan mampu memenuhi aturan  modal dasar sebesar 25 Miliar , oleh karena perusahaan adalah tergolong Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan akan terancam 534.000 orang kehilangan pendapatannya , Menurut Anwar Sata, Wakil Ketua Bidang Organisasi DPP Asosisasi Logistik dan Forwarder Indonesia1
Atas keberatan dari Organisasi ALFI tersebut, maka PM 74 Tahun 2015 dirubah dengan PM 78  Tahun 2015  pada pasal 6 ayat 4,  diubah dengan penambahan satu huruf  di pasal 6 ayat 4, yaitu : huruf i
Isi PM 78 Tahun 2015, Pasal 6 ayat 4 menjadi :
(4) Persyaratan adminitrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi
  a. memiliki akte pendirian perusahaan
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan
c. memiliki Surat Keterangan Domisili Perusahaan
d. memiliki penanggungjawab
e. memiliki modal dasar paling sedikit Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar), paling sedikit 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh dengan bukti penyetoran yang sah atau diaudit oleh kantor akuntan publik
f. Tenaga ahli WNI (Warga negara Indonesia), minimum DII di bidang Pelayaran/Maritim/Penerbangan/Transportasi/IATA Diploma/FIATA Diploma, S1 Logistik sertifikat ahli Kepabenan/Kepelabuhan
g. memiliki surat keterangan domisili perusahaan
h. memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari Penyelenggara pelabuhan setempat, serta asosisasi di bidang Jasa Pengursan Transportasi
i. bagi badan usaha yang memiliki modal lebih kecil sebagaimana tercantum pada ayat 4 huruf e, wajib memperoleh surat pernyataan/persetujuan dari asosiasi di bidang Jasa Pengurusan Transportasi sebagai jaminan untuk perusahaan atau badan hukum beroperasi.

Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan  kemudian , kembali terjadi perubahan pada pasal 6 ayat 4 , yaitu dengan dikeluarkannya PM 146 Tahun 2015.
Pada PM 146 Tahun 2015 yang merupakan perubahan kedua dari PM 74 tahun 2015,  Pasal 6 ayat 4 diubah dengan penghapusan satu huruf  di pasal 6 ayat 4, yaitu : huruf i
Penulis menduga ada tarik ulur  perijinan forwarder di Indonesia antara pemerintah (Kementerian Perhubungan)  dengan Asosiasi Jasa Pengurusan Transportasi, terkait :  persyaratan modal dasar dalam mendirikan perusahaan forwarder. Pemerintah terlihat memaksakan aturan terkait modal dasar pendirian perusahaan forwarder dan logistik,  yaitu : sebesar 25 Miliar. Pemerintah seakan menutup mata dengan tidak melihat fakta di lapangan bahwa pelaku forwarder dan logistik di Indonesia  adalah 90% adalah kelas UMKM. Pertanyaan kritis, apakah pemerintah benar-benar pro UMKM   dengan pemaksaan peraturan tersebut ? Kenapa peraturan tersebut terkesan dipaksakan harus diterapkan ?
Dan tarik ulur ini menjadi nyata dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan  sejak PM 146 tahun 2015 diterbitkan . Peraturan tersebut dirubah lagi  untuk yang ketiga kalinya, terkait  pasal 6 ayat 4 , yaitu dengan terbitnya  PM 12 Tahun 2016 pada tanggal 18 Januari 2016.  Peraturan  yang dirubah adalah pasal 6 ayat 4 , yaitu :  penambahan kembali satu huruf  di pasal 6 ayat 4, yaitu : huruf i . Dimana Isi Pasal 6 ayat 4 PM 12 Tahun 2016 kembali lagi sesuai dengan PM 78 Tahun 2015.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan : diduga telah terjadi tarik ulur antara pemerintah dengan asosiasi jasa pengurusan Transportasi (dalam hal ini ALFI) terkait persyaratan modal dasar dalam mendirikan usaha jasa pengurusan transportasi. Pemerintah terkesan memaksakan kehendak dengan membuat aturan modal dasar harus 25 Miliar, sedangkan Asosiasi jasa pengurusan transportasi meminta agar diberikan keringanan bagi pemodal kecil tapi dengan membuat syarat, yaitu :  wajib memperoleh surat pernyataan/persetujuan dari asosiasi di bidang Jasa Pengurusan Transportasi sebagai jaminan untuk perusahaan atau badan hukum beroperasi.
Menurut pendapat penulis  tentang peraturan PM 74 Tahun 2015 sebagaimana telah tiga kali diubah terakhir dengan PM 12 Tahun 2016 adalah:
1.      Peraturan PM 74 Tahun 2015  tidak memenuhi rasa keadilan dalam berusaha . Fakta bahwa  90% (Sembilan puluh persen) pelaku usaha jasa pengurusan transprotasi adalah UMKM, sedangkan ruang lingkup kegiatan jasa pengurusan transportasi sangat luas. Masing-masing jasa pengurusan transportasi mempunyai ruang lingkup yang berbeda dalam menjalankan usahanya. Ada perusahaan yang ruang lingkup jasa pengurusan transportasi dalam skala kecil dan sempit, misal: hanya pengurusan Jasa Pengurusan Jasa kepabeanan (PPJK) saja, akan tetapi  ada juga skala perusahaan yang sudah mampu melakukan urusan jasa logistik (skala besar). Sedangkan, persyaratan modal dasar antara perusahaan jasa pengurusan transportasi dengan ruang lingkup kegiatan kecil dan besar di sama ratakan, yaitu sebesar 25 Miliar.  Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah tidak pro terhadap pengusaha kecil.
2.      Peraturan PM 74 Tahun 2015  tidak mendorong tumbuhnya wirausaha baru. Peraturan tersebut akan menghambat munculnya pengusaha-pengusaha baru dalam bidang jasa pengurusan transportasi dengan adanya pembatasan modal dasar yang berat sebesar 25 Miliar. Pemerintah tidak pro menciptakan wirausaha baru.
3.      Pemerintah, dalam hal Kementerian Perhubungan terkesan hanya  mementingkan perusahaan skala besar, namun seolah  meniadakan perusahaan skala kecil. Tidak ada upaya pemerintah dalam memikirkan strategi dalam mendorong tumbuhnya pelaku UMKM  dalam kegiatan jasa pengurusan transportasimenjadi pelaku besar di masa yang akan datang.
4.      Asosiasi  jasa pengurusan transportasi memang  berhasil agar bagi badan usaha yang memiliki modal lebih kecil dapat memperoleh kelonggaran untuk mendapatkan perijinan jasa pengurusan transportasi, hal ini jelas terlihat dalam PM 12 Tahun 2016 sebagaimana perubahan ketiga dari PM 74 Tahun 2015. Namun,  Asosiasi jasa pengurusan transportasi terkesan tidak ada upaya serius dalam memperjuangkan kepentingan anggota yang skala UMKM yang besarnya 90% tersebut, dengan menolak dengan tegas aturan terkait persyaratan modal dasar 25 Miliar dengan memberikan alasan-alasan yang kuat dan logis dengan memberikan solusi , namun dan jika memang tidak didengarkan lagi  dapat  melakukan  upaya mogok nasional agar peraturan pembatasan modal dasar 25 Miliar dapat dicabut. Berharap asosiasi juga tidak serta merta mendulang di air keruh  dengan membuat aturan-aturan internal yang dapat memberatkan anggotanya.

Saran dan Penutup
Penulis memberikan masukan dan saran agar  bahwa peraturan PM 74 Tahun 2015 peraturan  sebagaimana telah tiga kali diubah terakhir dengan PM 12 Tahun 2016 dapat ditinjau ulang kembali  dan  diharapkan   dicabut, dengan tujuan agar rasa terpenuhi rasa keadilan dalam melakukan usaha di bidang jasa pengurusan transportasi.

Ditulis oleh : Antoni Tampubolon
* Pengajar di ALFI Institute dan Praktisi Forwarder dan logistik.




1)       Sumber : http://news.viva.co.id/nusantara/sinar-harapan/150409033-alfi-keberatan-persyaratan-modal-dasar-rp-25-miliar

TARIK ULUR PERIJINAN FORWARDER DAN LOGISTIK DI INDONESIA - (Bagian ke-1)

Kementerian Perhubungan telah menerbitkan peraturan terbaru tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Jasa Pengurusan Transportasi . Istilah Jasa Pengurusan Transportasi  (JPT) dalam praktek di Indonesia adalah Freight forwarder, sering disingkat dengan kata Forwarder, dan sekarang dikenal dengan istilah perusahaan logistik. Perijinan forwarder dan logistik di Indonesia  diatur di dalam perijinan jasa pengurusan transportasi.
 Peraturan terbaru terkait perijinan usaha forwader dan logistik  di Indonesia adalah : Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 74 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Jasa Pengurusan Transportasi.
Peraturan lama terkait perijinan forwarder tersebut adalah Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 10 Tahun 1988 tentang Jasa Pengurusan Transportasi dengan perubahannya Keputusan Menteri Perhububungan Nomor KM 10 Tahun 2009.
Menarik untuk dicermati, bahwa dalam waktu kurang dari 12 bulan, peraturan terkait perijinan forwarder di Indonesia tersebut telah mengalami perubahan selama 3 (tiga) kali.
Peraturan terbaru terkait perijinan forwader di Indonesia adalah :
Tabel 1: Peraturan Perijinan Forwarder di Indonesia
No.
Nomor Peraturan
Tentang
1.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 74 Tahun 2015
(PM 74 Tahun 2015), Tanggal : 9 April 2015
Penyelenggaraan dan Pengusahaan Jasa Pengurusan Transportasi
2.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 78 Tahun 2015
(PM 78 Tahun 2015), Tanggal : 22 April 2015
Perubahan Atas PM 74 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Jasa Pengurusan Transportasi
3.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 146 Tahun 2015
(PM 146 Tahun 2015), Tanggal : 1 Oktober 2015
Perubahan Kedua Atas  PM 74 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Jasa Pengurusan Transportasi
4.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2016
(PM 12 Tahun 2016), Tanggal : 18 Januari 2016
Perubahan Ketiga Atas  PM 74 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Jasa Pengurusan Transportasi

Berdasarkan hasil penelitian terhadap peraturan tersebut, bahwa perubahan yang sering kali dirubah adalah terhadap pasal 6  ayat 4.  Pasal 6  adalah pasal terkait persyaratan perijinan forwarder & logistik. Dari sejak peraturan PM 74 Tahun 2015 diterbitkan telah mengalami  3 (tiga) kali perubahan isi peraturan, dimana yang terakhir adalah peraturan PM 12 Tahun 2016 .
Isi PM 74 Tahun 2015 , Pasal 6 ayat 4  :
(4) Persyaratan adminitrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi
  a. memiliki akte pendirian perusahaan
b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan
c. memiliki Surat Keterangan Domisili Perusahaan
d. memiliki penanggungjawab
e. memiliki modal dasar paling sedikit Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar), paling sedikit 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh dengan bukti penyetoran yang sah atau diaudit oleh kantor akuntan publik
f. Tenaga ahli WNI (Warga negara Indonesia), minimum DII di bidang Pelayaran/Maritim/Penerbangan/Transportasi/IATA Diploma/FIATA Diploma, S1 Logistik sertifikat ahli Kepabenan/Kepelabuhanan
g. memiliki surat keterangan domisili perusahaan
h. memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari Penyelenggara Pelabuhan setempat, serta asosisasi di bidang Jasa Pengursan Transportasi
Jika dibandingkan dengan peraturan lama, KM 10 Tahun 1988  pasal 7 :
Izin usaha Jasa Pengurusan Transportasi diberikan kepada perusahaan berbadan hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang khusus didirikan untuk kegiatan Jasa Pengurusan Transportasi tersebut dan mematuhi persyaratan sebagai berikut :
a.  harus memiliki modal disetor sebesar Rp. 200.000.000; (dua ratus juta rupiah );
b.  saham-saham perusahaan seluruhnya harus dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan    atau badan hukum Indonesia.
Perbandingkan persyaratan modal disetor dalam mendirikan perusahan jasa pengurusan transportasi (forwader) dari peraturan lama KM 10 Tahun 1988 dibandingkan dengan PM 74 Tahun 2015 adalah sebesar  :  3125%  (Tiga Ribu Seratus Dua puluh lima persen) kali. Kenaikan persyaratan modal disetor tersebut sangat signifikan. 
Persyaratan modal dalam mendirikan perusahaan jasa pengurusan transportasi dengan modal dasar paling sedikit Rp. 25.000.000.000 (Dua puluh lima miliar), paling sedikit 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh, jelas sangat memberatkan dunia usaha di Indonesia.


* Ditulis oleh : Antoni Tampubolon
 Pengajar di ALFI Institute dan Praktisi Forwarder dan logistik.

Kamis, 10 Maret 2016

Jadwal Sertifikasi Ekspor Impor tanggal : 18 Maret 2016

Dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan Perdagangan Bebas, Para tenaga kerja dibidang ekspor impor  perlu memiliki kompetensi kerja di bidang ekspor impor.  Lembaga Sertifikasi Profesi Ekspor Impor Indonesia (LSP EII) adalah lembaga resmi yang telah terlisensi oleh BNSP yang diberikan wewenang untuk melaksanakan sertifikasi dibidang ekspor impor.
Sehubungan hal diatas, kami sampaikan bahwa LSP Ekspor Impor Indonesia (EII) akan menyelenggarakan uji kompetensi yang akan dilaksanakan pada :
           
Hari/Tanggal
:
Jumat, 18 Maret 2016
Waktu 
:
09.00 WIB - selesai
Tempat
:
Tempat Uji Kompetensi (TUK) LSP EII
Jl. S. Parman No. 112 Grogol Jakarta Barat
Target peserta
:
30 orang
Skema Sertifikasi
:
Level 1 (Asisten Pelaksana Ekspor)
Level 2 (Pelaksana Ekspor)
Level 3 (Penata Ekspor)

Biaya / peserta
:
Level 1 : Rp. 500.000,- (Umum) dan Rp. 300.000,- (Mahasiswa)
Level 2 : Rp. 700.000,- (Umum) dan Rp. 500.000,-(Mahasiswa)
Level 3 : Rp. 700.000,- (Umum) dan Rp. 500.000,-(Mahasiswa)




Sehubungan kegiatan tersebut, kami mengajukan Penawaran  Kerjasama Program Sertifikasi untuk merekrut peserta uji kompetensi dari kalangan Asosiasi, Eksportir, dan Dinas Tenaga Kerja.
Pendaftaran terakhir Hari/Tanggal: Rabu, 2 Maret 2016.
Keterangan lebih lanjut Hubungi  :  -  021-5674229 (LSP EII)
-     083896020574 (Margie)

Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih

Panitia Uji Kompetensi 
LSP Ekspor Impor Indonesia.
                                                                          

 ===============================================

                                                   SKEMA SERTIFIKASI     

Level I  (Asisten Pelaksana Ekspor) :
Unit dan Kompetensi :
1)      PDB.EI.01.001.01 : Menerapkan K3 di tempat kerja
2)      PDB.EI.01.002.01 : Menerapkan tugas rutin di bidang ekspor-impor
3)      PDB.EK.02.001.01: Melakukan Identifikasi komoditi Ekspor  
4)      PDB.EK.02.002.01: Melakukan Identifikasi negara tujuan ekspor
5)      PDB.EK.02.003.01: Mengaplikasikan ketentuan dan prosedur ekspor
6)      PDB.EK.02.004.01: Melakukan promosi dan strategi pemasaran ekspor
7)                                                                  PDB.EI.03.001.01: Menerapkan regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang ekspor impor
8)      PDB.EI.03.002.01 : Menerapkan regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang kepabeanan

Level II  (Pelaksana Ekspor) :
Unit dan kompetensi :  
1)      PDB.EI.01.001.01 : Menerapkan K3 di tempat kerja
2)      PDB.EI.01.003.01 : Menerapkan mutu pelayanan dengan mitra usaha
3)      PDB.EK.02.005.01: Melakukan negosiasi ekspor
4)      PDB.EK.02.006.01: Menentukan jenis-jenis pembayaran ekspor
5)      PDB.EK.02.007.01: Menghitung biaya ekspor
6)      PDB.EK.02.008.01: Membuat sales contract
7)      PDB.EI.03.003.01:Menerapkan regulasi dan kebijakan pemerintah dibidang pengangkutan
8)      PDB.EI.03.004.01:  Menerapkan regulasi dan kebijakan pemrintah dibidang pembayaran

Level III (Penata Ekspor) :
Unit dan kompetensi :
1)      PDB.EI.01.001.01 : Menerapkan K3 di tempat kerja
2)      PDB.EI.01.005.01 Mengemas barang ekspor
3)      PDB.EI.01.006.01 Memasarkan barang ekspor ke luar Negeri
4)      PDB.EK.02.009.01Mengenal syarat dan kondisi LC
5)      PDB.EK.02.010.01Mempersiapkan barang ekspor
6)      PDB.EK.02.011.01Melakukan prosedur pengangkutan barang ekspor
7)      PDB.EK.02.012.01Mengurus pengiriman barang ekspor ke pelabuhan
8)      PDB.EI.03.005.01 : Menerapkan Regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang GATT-WTO
9)      PDB.EI.03.006.01 : Menerapkan regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang WCO





Minggu, 06 Maret 2016

KONSULTASI EKSPOR - IMPOR, LOGISTIK DAN TRANSPORTASI


Jika ada pertanyaan seputar ekspor-impor, logistik dan transportasi, Para blogger bisa menyampaikan secara tertulis melalui email :

Email : antonitampubolon@gmail.com

Format standar email :

Judul email :
 Konsultasi -  (.....Ekspor/Impor/Logistik/Transportasi*..)

* pilih salah satu


Semoga konsultasi ini dapat memberikan solusi terhadap permasalahan seputar ekspor-impor, logistik dan transportasi.


Salam,

Antoni Tampubolon


Rabu, 02 Maret 2016

CATATAN KRITIS PEMBERLAKUAN TARIF BARU JASA PENUMPUKAN PETI KEMAS DI TANJUNG PRIOK BERLAKU 1 MARET 2016

PT.Jakarta International Container Terminal (JICT) telah menerbitkan surat keputusan Direksi tentang penyesuaian tarif jasa peti kemas di PT.Jakarta International Container Terminal. SK Direksi adalah HK.560/1/3/JICT-2016  tanggal: 26 Februari 2016 . Tarif baru berlaku sejak 1 Maret  2016.
   Catatan Kritis terhadap pemberlakuan tarif baru tersebut adalah :
1.      Tarif jasa penumpukan peti kemas di Tanjung Priok tidak mengenal lagi istilah : Masa 1 , Masa 2 dst, tetapi perhitungan sudah langsung berdasarkan hari, dimana  penumpukan free di Tanjung Priok hanya berlaku hari ke-1 sejak barang bongkar dari kapal. Hari ke-2 sudah berlaku tarif jasa penumpukan sebesar 900% dari tarif dasar.
2.      Batas waktu penumpukan petikemas impor di Terminal paling lama 3 (tiga) hari sejak barang ditumpuk dilapangan penumpukan, jika lebih akan dipindahkan ( Di OB). Artinya : Capaian Dwelling Time pasti terpenuhi dari sisi Operator Terminal, Tetapi Biaya logistik akan bertambah. Karena pemilik barang akan menimbulkan biaya tiga   kali  yaitu : pertama:  biaya penumpukan di terminal,  kedua : biaya pemindahan petikemas keluar ke terminal lain (OB), dan ketiga : biaya penumpukan di luar.  terminal. Rata-rata penyelesaian kepabeanan ,  penyelesaian urusan pengeluaran barang dari terminal hingga barang selesai  adalah hari ke-4 ( kondisi jalur hijau). Kemungkinan besar : Jumlah petikemas yang akan dipindahkan dari terminal peti kemas ke luar terminal peti kemas akan sangat besar sekali.
3.      Bagaimana kesiapan monitoring dan pengawasan barang yang telah keluar dari terminal pindah ke terminal lain dengan keluar masuk dengan jumlah sangat besar sekali tersebut ? (Custom Risk)
4.      Kesiapan lokasi penumpukan diluar terminal lain, apakah pola operasional bisa berlaku 24 jam ? Jika tidak, maka operasional kerja dalam pengeluaran petikemas akan terbatas,  sehingga dapat menimbulkan kemecatan pada jam-jam siang dan sore hari. (Operational Risk)
D. Kesimpulan
    Capaian Dwelling Time pasti akan tercapai (Target Presiden Jokowi kurang dari 4 hari), namun akan meningkatkan biaya logistik . Sedangkan Pemerintah mendorong agar biaya logistik rendah dengan capaian Dwelling Time rendah. Paradigma mencapai dwelling time dengan menaikkan tarif  jasa penumpukan peti kemas dan pembatasan sepihak, bahwa petikemas harus keluar dari terminal peti kemas dengan hari ke-4 adalah tidak tepat dan bukan solusi tetapi akan menambah permasalahan baru. Pemerintah sepatutnya  mengevaluasi peraturan yang telah diberlakukan tersebut .

Oleh : Antoni Tamubolon

TARIF JASA PENUMPUKAN PETI KEMAS DI TANJUNG PRIOK BERLAKU 1 MARET 2016

TARIF  BARU JASA PENUMPUKAN PETI KEMAS DI TANJUNG PRIOK
BERLAKU 1 MARET 2016

PT.Jakarta International Container Terminal (JICT) mengeluarkan surat keputusan Direksi tentang penyesuaian tarif jasa peti kemas di PT.Jakarta International Container Terminal. SK Direksi adalah HK.560/1/3/JICT-2016  tanggal: 26 Februari 2016 . Tarif baru berlaku sejak 1 Maret  20161)

Adapun tarif  yang berlaku adalah sebagai berikut :
A.    TARIF LAMA
Tarif Lama berdasarkan SK Direksi Pelindo II tahun 2008
TARIF PENUMPUKAN
20’
40’
TARIF DASAR PENUMPUKAN (TDP)
Rp. 27.200
Rp. 54.400
MASA PENUMPUKAN


MASA  BEBAS  : 1-3 HARI
GRATIS
GRATIS
MASA II            : 4-10 HARI
200% X TDP
200% X TDP
MASA III           : 11  HARI – SETERUSNYA
400% X TDP
400% X TDP


B.     TARIF BARU
      Tarif baru  berdasarkan SK Direksi PT.Jakarta International Container Terminal dengan nomor : HK.560/1/3/JICT-2016  tanggal: 26 Februari 2016
TARIF PENUMPUKAN
20’
40’
TARIF DASAR PENUMPUKAN (TDP)
Rp. 27.200
Rp. 54.400
Hari Ke-1 Tidak dikenakan tarif pelayanan jas penumpukan peti kemas


Hari ke-2  dan seterusnya dihitung perharinya sebesar 900% dari tariff dasar


          
- Tarif pelayanan jasa  penumpukan petikemas  (TPJPP) dengan ukuran lebih dari 40’ dikenakan tambahan  25% (dua puluh lima persen) dari tariff dasar jasa penumpukan peti kemas 40’

C.     Perhitungan Pinalti
Tarif pelayanan jasa penumpukan peti kemas impor yang telah selesai proses kepabeananya (telah terbit Surat Persetujuan Pengeluaran Barang-SPPB) dikenakan ketentuan :

1)      SPPB terbit setelah menumpuk dilapangan :
a). SPPB yang terbit pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis setelah hari ke-2 (ke-dua) sejak tanggal penerbitan SPPB, dikenakan tambahan tariff sebesar 200% (dua ratus prosen) dari tarif yang dikenakan
b). SPPB yang terbit pada hari Jumat dan Sabtu, setelah hari ke-3 (ke-tiga) sejak tanggal penerbitan SPPB, dikenakan tambahan sebesar 200%  (dua ratus prosen) dari tarif yang dikenakan
c. SPPB yang terbit satu hari sebelum hari libur nasional, setelah hari ke-3 (ke-tiga) sejak tanggal penerbitan SPPB, dikenakan tambahan sebesar 200% (dua ratus prosen) dari tariff yang dikenakan saat itu
d). Terhadap peti kemas yang telah terbit SPPB, dan tidak dikeluarkan setelah hari ke-3 (ke-tiga) oleh pemilik barang, maka terminal akan memindahkan petikemas tersebut setelah melaporkan kepada Otoritas Pelabuhan

Segala biaya yang timbul atas kegiatan tersebut menjadi beban pemilik barang.
2. SPPB terbit sebelum kegiatan bongkar
a. Setelah hari ke-3 (ke-tiga) sejak peti kemas menumpuk di lapangan, dikenakan tambahan sebesar 200% (dua ratus prosen) dari tariff yang dikenakan saat  itu
b). Setelah hari ke-3 ke-tiga) sejak peti kemas menumpuk di lapangan dan tidak dikeluarkan oleh pemilik barang, maka terminal akan memindahkan petikemas tersebut setelah melaporkan kepada Otoritas Pelabuhan
Segala biaya yang timbul atas kegiatan tersebut menjadi beban pemilik barang.

3. Tarif pelayanan jasa penumpukan petikemas impor yang telah terbit Surat Pengeluaran Petikemas (SP2) , dikenakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1). SP2  terbit setelah menumpuk di lapangan:
      Setelah hari ke-2 (ke-dua) setelah tanggal penerbitan SP2, dikarenakan tambahan sebesar 300% (tiga ratus prosen) dari tariff yang dikenakan saat itu
2. Untuk Partai Besar diatas 30 Box per B/L :
   Setelah hari ke-4 (ke-empat) sejak tanggal penerbitan SP2, terhadap sisa petikemas yang belum dikeluarkan dikenakan tambahan sebesar 300% (tiga ratus prosen) dari tariff yang dikenakan saat itu.
D.    Batas Penumpukan barang di Terminal
Sesuai dengan pasal II SK Direksi HK.560/1/3/JICT-2016  , diatur:
1)      Batas waktu penumpukan petikemas impor di Terminal paling lama 3(tiga) hari kerja sejak barang ditumpuk di lapangan penumpukan
2)      Apabila pemilik barang/kuasanya tidak memindahkan barang yang melewati batas waktu sebagaimana butir 1 diatas, maka hari ke-4 (ke-empat) Operator terminal akan memindahkan petikemas tersebut dari terminal ke tempat lain di luar terminal setelah melaporkan kepada Otoritas Pelabuhan dan segala biaya yang timbul dibebankan kepada pemilik barang/kuasanya.

E.     Catatan kritis terhadap pemberlakuan peraturan tarif baru tersebut :

1.      Tarif jasa penumpukan peti kemas di Tanjung Priok tidak mengenal lagi istilah : Masa 1 , Masa 2 dst, tetapi perhitungan sudah langsung berdasarkan hari, dimana  penumpukan free di Tanjung Priok hanya berlaku hari ke-1 sejak barang bongkar dari kapal. Hari ke-2 sudah berlaku tarif jasa penumpukan sebesar 900%.
2.      Batas waktu penumpukan petikemas impor di Terminal paling lama 3 (tiga) hari sejak barang ditumpuk dilapangan penumpukan, jika lebih akan dipindahkan ( Di OB). Artinya : Capaian Dwelling Time pasti terpenuhi dari sisi Operator Terminal, Tetapi Biaya logistik akan bertambah. Karena pemilik barang akan menimbulkan biaya tiga   kali  yaitu : pertama:  biaya penumpukan di terminal,  kedua : biaya pemindahan petikemas keluar ke terminal lain (OB), dan ketiga : biaya penumpukan di luar.  terminal. Rata-rata penyelesaian kepabeanan ,  penyelesaian urusan pengeluaran barang dari terminal hingga barang selesai  adalah hari ke-4 ( kondisi jalur hijau). Kemungkinan besar : Jumlah petikemas yang akan dipindahkan dari terminal peti kemas ke luar terminal peti kemas akan sangat besar sekali.
3.      Bagaimana kesiapan monitoring dan pengawasan barang yang telah keluar dari terminal pindah ke terminal lain dengan keluar masuk dengan jumlah sangat besar sekali tersebut ? (Custom Risk)
4.      Kesiapan lokasi penumpukan diluar terminal lain, apakah pola operasional bisa berlaku 24 jam ? Jika tidak, maka operasional kerja dalam pengeluaran petikemas akan terbatas,  sehingga dapat menimbulkan kemecatan pada jam-jam siang dan sore hari. (Operational Risk)
D. Kesimpulan

    Capaian Dwelling Time pasti akan tercapai (Target Presiden Jokowi kurang dari 4 hari), namun akan meningkatkan biaya logistik . Sedangkan Pemerintah mendorong agar biaya logistik rendah dengan capaian Dwelling Time rendah. Paradigma mencapai dwelling time dengan menaikkan tarif  jasa penumpukan peti kemas dan pembatasan sepihak, bahwa petikemas harus keluar dari terminal peti kemas dengan hari ke-4 adalah tidak tepat dan bukan solusi tetapi akan menambah permasalahan baru. Pemerintah sepatutnya  mengevaluasi peraturan yang telah diberlakukan tersebut .